Rabu, 01 April 2009

Kehidupan Waria (sebagai makhluk Hidup)

Kehidupan manusia secara lengkap dan realistik tergambarkan dalam proses-proses sosial yang terjadi dan terdapat dalam masyarakat. Menurut J. Dwi Narwoko-Bagong Suyanto (2007:57) bahwa “proses sosial adalah setiap interaksi sosial yang berlangsung dalam satu jangka waktu, sedemikian rupa hingga menunjukkan pola-pola pengulangan hubungan prilaku dalam kehidupan masyarakat”. Dijelaskan pula bahwa interaksi sosial dapat dibedakan dalam dua jenis, yaitu interaksi sosial yang asosiatif dan interaksi sosial yang disosiatif. Interaksi sosial asosiatif adalah apabila proses itu mengidentifikasikaan adanya “gerak dan penyatuan” sedangkan proses disosiatif adalah proses yang ditandai adanya suatu pertentangan atau pertikaian yang tergantung sekali pada unsur-unsur budaya yang menyangkut struktur masyarakat dan sistem nilai-nilainya.

Waria (wanita-pria) merupakan salah satu bagian masyarakat yang mengalami proses sosial disosiatif, kehadirannya ditengah-tengah masyarakat belum sepenuhnya diterima. Keadaan mereka dianggap sebagai perilaku menyimpang (perilaku atau tindakan di luar kebiasaan, adat-istiadat, aturan, nilai-nilai, atau norma-norma sosial yang berlaku). Tidak jarang mereka diperlakukan seperti orang aneh yang patut ditertawakan dan dicemooh, dikucilkan, dan dianggap tidak normal. Menurut Nina Karinina dalam makalahnya berjudul Penyimpangan Identitas dan Peran Jender (2007) bahwa hambatan sosial yang dialami kaum waria meliputi hampir di seluruh aspek kehidupan sosial seperti dalam hal kesempatan pendidikan, kesempatan bekerja, kesempatan dalam kegiatan keagamaan, kesempatan dalam kehidupan keluarga dan hambatan kesempatan perlindungan hukum. Waria adalah individu yang mengalami transvestite, yaitu individu yang memiliki jenis kelamin pria namun mempuyai naluri dan sifat wanita. Kartini Kartono (1978:265), mengatakan bahwa istilah waria berasal dari kata “Wanita-Pria”, disamping itu mendapat sebutan lain seperti Wadam (Wanita-Adam) atau banci.

Permasalahan kaum waria berkaitan dengan kondisi dirinya tersebut mengakibatkan renggangnya hubungan waria dengan lingkungan sosialnya, baik dalam lingkungan kerja, lingkungan beragama maupun lingkungan sosial. Hal ini menyebabkan mereka kesulitan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dan mengakses sumber-sumber yang ada, masih rendahnya pendapatan yang mereka peroleh menyebabkan belum terpenuhinya kebutuhan dasar (sandang, pangan, perumahan, kesehatan dan pendidikan) dengan baik.

Uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya waria tak lepas dari interaksi sosial dengan lingkungan sosialnya. Hal ini seperti menurut Gillin dan Gillin dalam Soerjono Soekanto (2005:61) menyatakan bahwa: “Interaksi merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang-orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia”. Dijelaskan pula bahwa lingkungan sosial terdiri dari orang-orang, baik individual maupun kelompok yang berada di sekitar manusia.

Dalam lingkungan tempat tinggal, mereka terisolir dari keluarga dan teman bermain karena kondisi dirinya sehingga mereka terpaksa mencari teman yang senasib. Di lingkungan beragama juga demikian mereka belum bisa menunaikan kewajiban mereka sebagai umat beragama seperti sholat, pengajian atau dalam kegiatan-kegiatan keagamaan lainnya. Mereka masih menerima cibiran, cemoohan dari masyarakat. Di lingkungan kerja sebagai pemilik salon dan tukang gunting keliling, mereka sering dihadapkan pada perlakuan kelayan yang kadang tidak mau membayar bahkan mereka mengalami pengusiran dari tempat usaha atau rumah kontrakan yang dijadikan salon, sehingga tempat usaha mereka berpindah-pindah tetapi masih di wilayah yang sama, hal ini berdampak pada pendapatan yang rendah sehingga mereka belum dapat mencukupi kebutuhan dasar dengan baik.

Dari uraian di atas dapat diketahui relevansi antara masalah yang akan diteliti dengan profesi pekerjaan sosial. Waria merupakan salah satu penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) yang ada di Indonesia. Dalam rangka mengatasi masalah dan meningkatkan taraf kesejahteraan sosial waria, pekerja sosial harus menyelenggarakan serangkaian pelayanan sosial untuk kaum waria, baik yang bertujuan sosialisasi, pelatihan, bimbingan sosial, advokasi sosial, serta menumbuhkan dan meningkatkan peranan partisipasi mereka dalam berbagai kehidupan sosial, kegiatan kemasyarakatan dan kegiatan pembangunan. Pekerja sosial dapat berperan sebagai konselor, mediator, advocate, pelatih dan pendidik dengan menjalin kerja sama dengan berbagai instansi dan disiplin ilmu lainnya.

puisi Kehidupan

KELOMPOKKU TERSAYANG

DUSUN II RANCABOGO DESA SAGARACIPTA

Rancabogo, 09 Juli 2008

Hari berganti hari

Tak terasa sudah berakhir

Detik demi detik berlalu penuh arti

Dalam mencapai titian masa depan menanti

Suka duka silih berganti

Kadang tertawa

Dalam lucunya canda

Kadang meringis

Dalam lelahnya hati

Persamaan dan perbedaan pandangan sering hadir

Mewarnai hari-hari penuh emosi

Sifat egois kadang tak terhindari

Pertanda kelompokku sangat manusiawi

Kelompokku tersayang….

Bersatulah disaat ujian datang

Ulurkan tangan satukan jiwa

Tuhan pasti menolong kita

Dusun II Rancabogo Desa Sagaracipta

Menjadi saksi pendewasaan diri

Melatih sikap saling menghargai

Menuju kesuksesan abadi…

“Aim Abdullah”

Tuk teman-temanku tersayang

Damaris “Ame”

Angga Novian “My Brother”

Fajri “Diji”

Yandi “Yan yan”


“KERINDUAN”

Dingin Malam Menusuk Kalbu

Panas Mentari Berganti Disiang Hari

Kering Perih Menerpa wajahku

Ku tetap berdiri….

Sunyi Senyap Terasa

Mengisi Hari-Hari Dalam Kerinduan

Jauh Dari Sang Pujaan

Hanya Karena Sebuah Harapan

Dewi Perindu

Rancabogo, 09 Juli 2008